Kembali ke halaman sebelumnya

Kisah di Balik Pernikahan Soeharto dan Ibu Tien

okezone.com 1 jam yang lalu

JAKARTA - Saat tengah terlibat dalam rundingan penting antara Indonesia dan Belanda, Soeharto dihadapkan pada pertanyaan tak terduga tentang kehidupan pribadinya. Keluarga Prawirowihardjo dari Wuryantoro datang untuk berbicara tentang masa depannya.

Awalnya, percakapan itu seperti biasa, tetapi kemudian mereka menyampaikan pertanyaan tak terduga kepada Soeharto. Ibu Prawiro mengingatkannya bahwa usianya sudah 26 tahun dan di lingkungannya, sudah saatnya untuk menikah.

Perundingan itu akan dilaksanakan di atas kapal Amerika “Renville” yang telah berlabuh di permulaan Desember di Tanjung Priok. 

Soeharto awalnya tidak serius memperhatikan pertanyaan itu. Dia menjelaskan, tugasnya sebagai perwira militer masih membutuhkan fokusnya, dan ada banyak tantangan yang harus diatasi.

"Mula-mula saya tidak menganggap serius soal ini. Saya jelaskan kepada mereka bahwa saya sedang sibuk di Resimen. Perjuangan belum selesai. Kekacauan masih mengancam. Belanda masih belum mau angkat kaki dari negeri kita," kata Soeharto dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982.

Namun, Ibu Prawiro menekankan bahwa perjuangan tidak boleh menghalangi pembentukan keluarga. Menurutnya, membentuk keluarga adalah suatu hal yang penting.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Soeharto kemudian bertanya kepada mereka, “Tetapi siapa pasangan saya?” saya balik bertanya kepada mereka. Soeharto tidak punya calon.

Ibu Prawiro meyakinkannya, "Percayakan itu kepada kami."

“Kamu masih ingat kepada Siti Hartinah, teman sekelas adikmu, Sulardi, waktu di Wonogiri?” tanya Ibu Prawiro. Soeharto mengangguk, mengiyakan.

Dia kemudian menyarankan Siti Hartinah, teman sekelas adik Soeharto di Wonogiri. Meskipun pada awalnya merasa ragu, namun Ibu Prawiro meyakinkannya bahwa dia akan menyelesaikan masalah tersebut.

Soeharto, meskipun awalnya bingung, merasa terdorong oleh keinginan untuk membentuk keluarga. Dia menyadari pentingnya pernikahan dalam agama dan budaya, serta menyadari bahwa langkah ini adalah langkah yang wajar di usianya.

“Tetapi bagaimana bisa?” pikir Soeharto.

“Apa dia akan mau?” tanyanya.

“Apa orangtuanya akan memberikan? Mereka orang ningrat. Ayahnya, Wedana, pegawai Mangkunegaran,” sambungnya.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Bu Prawiro tak mempersoalkan itu, karena ia yakin semua akan berjalan lancar. “Saya kenal dengan orang yang dekat dengan mereka,” kata Bu Prawiro.

“Saya akan minta dia menanyakan, apa mereka dapat menerima kedatanganku. Saya tahu cara-caranya. Saya tahu adat kebiasaan di situ, ” katanya.

Lantara tak ingin mengecewakan dan yang dikemukakan Bu Prawiro benar, membuat hati Soeharto tergugah untuk membentuk keluarga. Lagi pula dalam ajaran agama mewajibkan untuk melanjutkan keturunan dengan pernikahan.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

(Ari)

Kembali ke halaman sebelumnya