Kembali ke halaman sebelumnya

Gibran Jadi Wapres, Tokoh NU: Kembali ke Masa Lalu, Berbagi Kisah Tentang Kekuasaan Soeharto

fajar.co.id 10 jam yang lalu

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh senior Nahdlatul Ulama (NU), Islah Bahrawi, mengingatkan kembali pada rezim Presiden Soeharto dalam sebuah pernyataan yang memunculkan cerita-cerita masa lalu yang menarik perhatian.

Menurut Islah, pada satu dekade terakhir kekuasaannya, Presiden Soeharto semakin tidak terkontrol. 

"Presiden Soeharto pada satu dekade terakhir kekuasaannya semakin tak terkontrol," ujar Islah dalam keterangannya di aplikasi X @islah_bahrawi (24/4/2024).

Salah satu contoh yang disebutkan adalah penunjukan anak sulungnya, Tutut, sebagai Menteri Sosial.

"Dia menjadikan Tutut anak sulung perempuannya sebagai Menteri Sosial," cetusnya. 

"Dia juga memberi previlege kepada anak-anaknya untuk berbisnis dengan fasilitas negara," lanjutnya.

Dikatakan Islah, pada masa itu, rakyat melihat jelas kekonyolan tersebut, namun tak mampu bersuara karena ketakutan.

"Saat itu rakyat melihat jelas kekonyolan itu tapi tak mampu bersuara karena ketakutan," sebutnya. 

Setelah Soeharto lengser, kata Islah, anak-anaknya ikut tenggelam. 

"Setelah Soeharto lengser, anak-anaknya ikut tenggelam. Mungkin gantian mereka yang ketakutan setelah bapaknya sebagai kepala geng tidak lagi dianggap," ungkapnya. 

Islah juga menduga bahwa anak-anak Soeharto merasa malu dengan kekonyolan masa lalunya yang terjadi saat mereka berada dalam jabatan tanpa harus merintis karir dari nol.

"Atau merasa malu sendiri dengan kekonyolan masa lalunya yang moncer dalam jabatan tanpa harus merintis karir dari nol," terangnya. 

Tambahnya, mereka sukses menjadi konglomerat tanpa harus menguras keringat. Namun, tidak punya lagi tempat bersandar setelah Soeharto lengser.

"Sukses menjadi konglomerat tanpa harus menguras keringat. Mereka tidak punya lagi tempat bersandar." tukasnya.

Islah bilang, apa yang ia katakan hanyalah sekadar cerita tentang masa lalu. 

"Ini sekedar cerita tentang masa lalu," imbuhnya. 

Islah menggambarkan kekuasaan sebagai sesuatu yang terlihat harum saat masih dalam genggaman, namun mulai memudar saat tangan tak lagi mampu memegang erat apapun.

"Kekuasaan itu harum ketika masih dalam genggaman. Saat tangan mulai keriput dan jari-jari tak mampu lagi memegang erat apapun, telunjuk sekedar isyarat kosong," Islah menuturkan. 

Peringatan Islah Bahraw ini memunculkan kembali sorotan terhadap masa kekuasaan Soeharto dan dampaknya terhadap generasi penerusnya.

"Mulut tak lagi bertuah dan kalimat yang terlontar tidak lagi keramat bagi banyak orang," kuncinya. 

(Muhsin/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:

Kembali ke halaman sebelumnya