Kembali ke halaman sebelumnya

NASIB Puluhan Caleg PDIP Jateng Terancam Gagal Dilantik Akibat Sistem Komandante, Bakal Menggugat

tribunnews.com 2 jam yang lalu

TRIBUN-MEDAN.com - Puluhan Caleg PDIP di Jawa Tengah memprotes sistem komandante. Mereka meminta agar diberlakukan kembali Peraturan Partai (PP) nomor 3 tahun 2024. 

Menurut para Caleg yang tergabung dalam Banteng Soca Ludira itu, sistem komandante yang berpijak pada PP nomor 1 tahun 2023 seharusnya gugur dengan adanya PP nomor 3 tahun 2024 terkait pelantikan caleg terpilih pada Pemilu 2024.

Ketua Banteng Suca Ludira, Yudi Kurniawan mengatakan, pihaknya mendesak DPP PDIP bertindak tegas supaya mereka tidak terdampak sistem komandante.

"Setahu saya, kalau memang aturan PP DPD 01 Tahun 2023 yang sudah dilakukan mulai tanggal 15 Juni 2023 sudah tidak berlaku," kata Yudi, di Solo, Jateng, Sabtu (20/4/2024), dikutip dari TribunSolo.com.

"Setelah kemarin diterbitkan PP DPP 03 tahun 2024 yang ditandatangani langsung oleh ibu Ketum (PDI-P), Megawati Soekarnoputri, dan Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyant, pada 17 April 2024," sambungnya.

Meski begitu, Yudi tak menampik bahwa masih ada perdebatan mengenai sejumlah poin pada PP nomor 3 tersebut.

"Kalau itu nanti kita tunggu keputusan DPP (PDI-P). Kami di sini sebagai caleg Jateng korban komandante. Pemberlakuan PP nomor 1 DPD itu juga memang kami tahu isinya, kami memahami dan mengerti," ujar Yudi.

"Tetapi setelah muncul PP nomor 3 DPP ini kan berarti itu semua sudah dicabut. Jadi yang diberlakukan itu PP nomor 3 2024. Di situ jelas, (Caleg dengan perolehan) suara terbanyak yang dilantik," jelasnya.

Yudi menegaskan, para Caleg asal 19 kabupaten dan kota di Jateng itu akan memperjuangkan haknya agar dapat lolos menjadi anggota dewan.

"Kami akan tetap memperjuangkan hak kami, seperti aturan KPU bahwa suara terbanyak yang akan dilantik," tegasnya.

Caleg asal Kabupaten Batang, Fitriana Puspitasari mengaku telah membuat laporan polisi terkait sistem komandante yang telah merugikannya.

"Jadi yang saya laporkan (ke Polda Jateng) ini terkait pemalsuan surat. Tanggal 12 Februari, kami memang tanda tangan surat kesediaan mengundurkan diri tapi masih kosong, tanpa tanda tangan Ketua dan Sekretaris DPC, tanggal masih kosong, SK pelantikan juga masih kosong," ucap Fitriana.

"Kemudian tanggal 13 Maret saya sudah melakukan pencabutan surat pengunduran diri di KPUD. Kemudian tanggal 23 Maret, DPC mengirim surat pengunduran diri saya disertai berita acara dari KPUD. Berita acaranya itu juga ngawur, contohnya menyaksikan penandatanganan. Jadi klarifikasinya salah," lanjutnya.

Fitriana menambahkan, kuasa hukumnya juga telah melayangkan somasi kepada Ketua DPC PDI-P wilayahnya agar mencabut surat tersebut.

"Setelah tiga hari tidak ada respons, maka tanggal 25 Maret, lawyer saya menyerahkan laporan kepada Polda Jateng," ungkapnya.

Siapkan langkah hukum

Sementara itu, Kuasa hukum Banteng Soca Ludira, Sri Sumanta menjelaskan, pihaknya menyiapkan empat langkah hukum untuk memperjuangkan hak para Caleg yang terdampak sistem komandante itu.

"Bila hak konstitusional Caleg ini dilanggar, ada empat hal yang kami siapkan, yaitu gugatan pidana, perdata, gugatan PTUN, dan tentu aduan kode etik bagi penyelenggara Pemilu yang tidak taat," pungkasnya.

Isi Tulisan Megawati Ajukan Diri Sebagai Amicus Curiae

Ketua Umum PDIP sekaligus Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri mengajukan diri sebagai Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024.

Putri Presiden Soekarno itu mengatakan, kini rakyat Indonesia sedang menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres yang akan dicatat dalam sejarah.

Menurutnya, rakyat menunggu apakah MK dapat mengambil keputusan sesuai hati nurani dan sikap kenegarawanan, ataukah membiarkan praktik elektoral penuh dugaan penyalahgunaan kekuasaan. 

"Di tengah penantian lahirnya keadilan sejati di Mahkamah Konstitusi, perhatian saya tertuju pada sebuah patung Dewi Keadilan," kata Megawati dalam dokumen amicus curiae-nya yang dilihat Tribunnews.com, Selasa (16/4/2024).

Megawati menyebut, patung Dewi Keadilan itu ditaruh di samping meja ruang rapat kediamannya agar mengingatkan pentingnya keadilan hakiki tanpa balutan kepentingan lain, kecuali keadilan itu sendiri.

Dia menjelaskan, patung Dewi Keadilan yang dibelinya itu ketika berada di Amerika Serikat mengandung beberapa pesan kuat.

Pertama, mata Dewi Keadilan tertutup kain. Mata tertutup menghadirkan "keadaan gelap" agar tak tersilaukan oleh apa yang dilihat mata. 

"Dengan mata tertutup itu, terjadi dialog dengan hati nuraninya dalam memutuskan perkara dengan tidak membedakan siapa yang berbuat," ujar Megawati.

Kedua, timbangan keadilan sebagai cermin keadilan substantif. Ketiga, pedang yang diturunkan ke bawah menegaskan bahwa hukum bukanlah alat membunuh.

Namun, didasarkan pada norma, etika, kesadaran hukum, dan tertib hukum serta keteladanan para aparat penegak hukum.

Megawati menegaskan, bagi bangsa Indonesia, pentingnya keadilan dalam seluruh kehidupan bernegara tecermin dalam Pancasila. 

Sebab, Pancasila adalah ideologi yang lahir sebagai jawaban atas praktik hidup eksploitatif akibat kolonialisme dan imperialisme.

Dia menyebut, keadilan dalam perspektif ideologis harus dijabarkan ke dalam supremasi hukum.

Menurut Megawati, budaya hukum, tertib hukum, institusionalisasi lembaga penegak hukum, dan keteladanan aparat penegak hukum menjadi satu kesatuan supremasi hukum.

"Sumpah presiden dan hakim Mahkamah Konstitusi menjadi bagian dari supremasi hukum. Namun, bagi hakim Mahkamah Konstitusi, sumpah dan tanggung jawabnya lebih mendalam dari sumpah presiden," ucapnya.

Karenanya, dia menekankan pentingnya sikap kenegarawanan hakim untuk menciptakan keadilan substantif dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara sebagai hal yang paling utama.

"Dengan tanggung jawab ini, keputusan hakim Mahkamah Konstitusi atas sengketa Pilpres sangat ditunggu rakyat Indonesia, apakah keadilan substantif dapat benar-benar ditegakkan, atau sebaliknya semakin terseret ke dalam pusaran tarik-menarik kepentingan kekuasaan politik?" tanya dia.

Megawati juga menyinggung soal etika presiden. Dia mengutip pernyataan budayawan dan rohaniwan Frans Magnis Suseno soal pelanggaran etika serius dalam pelaksanaan Pilpres 2024.

Dia menuturkan, tanggung jawab presiden terhadap etika sangatlah penting sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi atas negara dan pemerintahan yang sangat besar. 

Selain itu, Megawati menerangkan bahwa pernyataan Magnis menjadi landasan etis bagi hakim MK untuk mengurai seluruh akar persoalan Pilpres mulai dari nepotisme dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Presiden.

Dia juga menyoroti mengenai temuan adanya penurunan kualitas demokrasi Indonesia seperti diungkapkan Indeks demokrasi Indonesia, menurut data Freedom House.

Demikian juga menurut The Economist Intelligence Unit (EIU) yang menyimpulkan demokrasi Indonesia masih tergolong cacat (flawed democracy) berada pada peringkat ke-54 secara global, turun dua peringkat dari tahun sebelumnya.

"Dengan mencermati pelbagai laporan tersebut, kemampuan Mahkamah Konstitusi di dalam menyelesaikan sengketa pemilihan umum tentu menjadi tolok ukur bagi peningkatan kualitas demokrasi. Sebab, kecurangan tanpa efek jera akan semakin mematikan demokrasi," ungkap Megawati.

Megawati juga mengurai adanya kecurangan dari masa ke masa selama Pemilu berlangsung di tanah air.

"Mengapa evolusi kecurangan terjadi, bahkan semakin bersifat akumulatif, sebab belum pernah tercipta efek jera sebagaimana terjadi di Amerika Serikat dengan skandal Watergate yang memaksa Presiden Richard Nixon mengundurkan diri," ucapnya.

Dia menjelaskan, Pilpres 2024 merupakan puncak evolusi hingga bisa dikategorikan sebagai kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dan ditambah motif nepotisme yang mendorong penyalahgunaan kekuasaan presiden. 

Menurutnya, nepotisme saat ini berbeda dengan zaman Presiden Soeharto sekalipun karena dilaksanakan melalui sistem Pemilu ketika presiden masih menjabat.

"Lalu, pertanyaan kritis kita: apa dan siapa yang salah? Dengan tegas saya menjawab sendiri, bukan sistem hukum Indonesia yang salah," ungkap Megawati.

Sebaliknya, kata dia, pelaksanaan hukum yang menjadi tanggung jawab pemimpin itulah yang salah.

"Kondisi ini terjadi akibat etika dan moral dijauhkan dari praktik hukum. Tanpa landasan etika, moral, dan keteladanan pemimpin, manipulasi hukum menjadi sernakin mudah dilakukan," terangnya.

Megawati mengungkapkan, sikap kenegarawanan yang dimiliki hakim MK masuk dalam dimensi tanggung jawab bagi pemulihan etika dan moral.

Tanpanya, MK hanya menjadi jalan pembenaran bagi sengketa Pemilu yang orientasinya hanya pada hasil, tanpa melihat secara jernih bagaimana proses Pemilu dan keseluruhan input dari proses Pemilu.

"Hasil pemilihan umum ternyata bisa berubah akibat penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dibuktikan adanya voting behaviour yang dipengaruhi besarnya belanja sosial (social expenditures), seperti bantuan langsung tunai, pembagian beras miskin, dan bantuan sosial lainnya," ucapnya.

Megawati menjelaskan, keputusan hukum MK memiliki makna demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

"Maknanya tidak hanya secara transenden, tanggung jawab langsung kepada Sang Pencipta. Kekuatan transenden ini seharusnya dapat memperkuat posisi hakim MK mengambil terobosan hukum berdasarkan keadilan sebagai sifat hakiki Tuhan," tuturnya.

Karena itulah, hakim MK tidak hanya bertanggung jawab sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi, tetapi juga memiliki legalitas dan legitimasi agar keadilan benar-benar menemukan bentuknya, terlebih ketika berhadapan dengan tembok kekuasaan.

Dia meminta hakim MK dapat mengasah hati nurani dan budi pekertinya agar setiap tindakan dan keputusan politiknya selalu memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

"Oleh karena itulah, belajar dari putusan Nomor 90/PUU-XI/2023 di Mahkamah Konstitusi yang sangat kontroversial, saya mendorong dengan segala hormat kepada hakim Mahkamah Konstitusi agar sadar dan insaf untuk tidak mengulangi hal tersebut," ucap Megawati.

"Ketukan palu hakim Mahkamah Konstitusi selanjutnya akan menjadi pertanda antara memilih kegelapan demokrasi atau menjadi fajar keadilan bagi rakyat dan negara."

Megawati menambahkan, nama-nama para hakim MK akan tertulis dalam sejarah Republik Indonesia, baik maupun buruk.

"Tentu sebagai anak bangsa, saya berdoa semoga dengan izin Allah SWT, kita pun rakyat Indonesia akan melihat cahaya terang demokrasi ketika "Sembilan Dewa" di Mahkamah Konstitusi memberikan keputusan yang berkeadilan, berwibawa, dan terutama dengan hati nuraninya," jelasnya.

Tanggapan Kubu Prabowo

Sementara, Anggota Tim Hukum Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Otto Hasibuan mengatakan, tuduhan Pilpres 2024 penuh dengan kecurangan tak terbukti.

Hal ini disampaikan Otto ketika Tim Hukum Prabowo-Gibran menyerahkan berkas kesimpulan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Otto mengatakan, kubu Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo - Mahfud MD kerap mempersoalkan dugaan kecurangan.

Padahal, kata dia, gugatan mereka bukanlah ranah MK dan tidak memiliki bukti adanya kecurangan. "Sekarang yang dipersoalkan ternyata adalah ada kecurangan-kecurangan yang menurut kami sebenernya tidak merupakan ranah MK, dan kebetulan pula tidak ada bukti-bukti tentang kecurangan itu," kata Otto di Gedung MK, Jakarta, Selasa (16/4/2024).

Otto menegaskan, pihaknya mencatat terdapat 19 tuduhan kubu Anies dan Ganjar soal Prabowo-Gibran disebut melakukan kecurangan.

"Ternyata setelah kami lihat satu per satu dari 19 ini di kesimpulan ini kami uraikan dengan jelas, satu pun tidak terbukti ada kecurangan tersebut," ujarnya

Lagipula, dia menilai bahwa persoalan kecurangan bukan ranah MK, melainkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

"Jadi kita lihat seperti itu, sebenernya kalau kecurangan ini ranahnya ini ranahnya Bawaslu, Bawaslu yang harus memeriksa perkara kalau ada kecurangan," ungkap Otto.

(*/tribun-medan.com)

Kembali ke halaman sebelumnya