Kembali ke halaman sebelumnya

"Dissenting Opinion" Pertama dalam Sejarah Sengketa Pilpres, Hampir Bikin Pemilu Ulang

kompas.com 18 jam yang lalu

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejarah terjadi pada sidang pembacaan putusan sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (22/4/2024). Untuk kali pertama, majelis hakim tidak bulat dalam memutus dugaan kecurangan pemilu.

Dari 8 hakim yang memutus sengketa ini, 5 hakim setuju menolak permohonan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, sedangkan 3 lainnya menyatakan tidak setuju (dissenting opinion, pendapat berbeda) atas penolakan itu.

Seandainya Ketua MK Suhartoyo masuk dalam kelompok hakim yang dissenting, skor akan menjadi 4-4 dan MK bisa saja memutus pemungutan suara ulang (PSU) sebagaimana diminta para pemohon.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasalnya, dalam skor imbang, putusan yang diambil akan melihat di mana posisi ketua sidang, dalam hal ini Suhartoyo.

Wakil Ketua MK Saldi Isra mengkritik putusan mayoritas hakim yang dinilai hanya berfokus pada keadilan prosedural dalam penyelenggaraan pemilu, padahal itu tidak serta-merta mencerminkan keadilan substansial.

Ia menjelaskan, secara prosedural, pelaksanaan pemilu mungkin sudah berjalan sesuai ketentuan perundang-undangan, di mana apabila terjadi pelanggaran dan ditangani sesuai dengan mekanisme yang tersedia, maka sudah terkategori sebagai pemilu yang jujur dan adil.

"Melampaui batas keadilan prosedural itu, asas jujur dan adil dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 tidak hendak berhenti pada batas keadilan prosedur semata," ujar Saldi usai pembacaan putusan, Senin (22/4/2024).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Sebab, pemilu di masa Orde Baru pun berjalan memenuhi segala prosedur yang ada, yaitu dilaksanakan dengan memenuhi standar mekanisme yang ditentukan dalam UU Pemilu saat itu," ujar dia.

"Namun secara empirik, pemilu Orde Baru tetap dinilai curang, karena secara substansial pelaksanaan pemilunya berjalan dengan tidak fair, baik karena faktor pemihakan pemerintah pada salah satu kontestan pemilu, maupun karena faktor praktik penyelenggaraan pemilu yang tidak memberi ruang kontestasi yang adil bagi semua kontestan pemilu," jelas Saldi.

Ia menyinggung, asas jujur dan adil dalam norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menghendaki sebuah keadilan dan kejujuran pemilu yang lebih materil.

"Jujur dan adil yang dikehendaki bukan hanya sekadar sikap patuh pada aturan, melainkan sikap tidak berlaku curang, tidak berbohong dan tidak memanipulasi atau memanfaatkan celah hukum/kelemahan aturan hukum pemilu yang ada untuk melakukan tindakan yang secara esensial merupakan praktik curang dalam sebuah kontestasi," terangnya.

Ia juga menyoroti ketidaksetujuannya terhadap pandangan MK berkaitan dengan tidak adanya hubungan antara pengerahan bantuan sosial (bansos) pada masa yang berimpitan dengan penyelenggaraan Pemilu 2024.

Menurutnya, peristiwa semacam itu harus dibaca secara lebih luas dengan menyingkap fakta-fakta di balik peristiwa.

Bukan tidak mungkin hal semacam itu, secara kontekstual, merupakan bentuk kamuflase dari dukungan pemerintah petahana atas calon penerus yang disukainya.

Ia mengibaratkannya sebagai asap yang membubung tinggi, namun tidak ada satu pun yang mampu menemukan titik apinya.

perbesar foto

perbesar foto

Kembali ke halaman sebelumnya