Kembali ke halaman sebelumnya

Challengers: Kompetisi Tenis Tak Pernah Seseksi Ini

detik.com 5 jam yang lalu

Salah satu fun fact paling menarik dari Challengers adalah film ini adalah film ke-tiga dari pemeran Mary Jane dari tiga versi film Spider-Man yang berbeda yang berhubungan dengan tenis. Kalau Kirsten Dunst bermain dalam Wimbledon, Emma Stone bermain dalam Battle of the Sexes. Fakta menarik berikutnya adalah tiga film tenis ini amat sangat berbeda satu dengan yang lain. Battle of the Sexes adalah biopik, Wimbledon adalah sebuah romantic comedy murni sementara Challengers adalah sebuah drama percintaan yang akan membuat penontonnya berkeringat.

Zendaya berperan sebagai Tashi Duncan, seorang mantan prodigy tenis yang terpaksa turun panggung karena cedera di kakinya. Ia kemudian menjadi pelatih suaminya, Art Donaldson (Mike Faist, yang kemarin sempat nongol di West Side Story-nya Spielberg). Hidup mereka kelihatannya bahagia. Mereka memakai baju bermerk, tinggal di suite hotel dan menjadi wajah Aston Martin. Tapi dari interaksi mereka yang dingin, semua penonton tahu bahwa api asmara mereka sudah lama hangus.

Patrick Zweig (Josh O'Connor) berada dalam kondisi finansial yang sangat berbeda. Ia bahkan tidak bisa untuk menginap di motel murah. Hari itu, ketika ia mengkonfirmasi pendaftarannya untuk pertandingan "challengers", ia mendapatkan informasi bahwa akan ada nama besar yang ikut bertanding. Art Donaldson bukanlah nama yang asing untuk Patrick Zweig. Begitu juga dengan nama Tashi Duncan. Dalam sekejap, pertandingan tenis ini berubah menjadi sesuatu yang membakar ketiga orang ini.

Luca Guadagnino tidak tertarik untuk membuat film olahraga. Challengers memang mengambil latar tenis tapi ini bukan jenis film dimana karakter yang menang piala akan mendapatkan segalanya. Naik di podium bukanlah goal yang ingin Guadagnino capai. Yang ingin ia capai adalah mencabik-cabik emosi penonton dengan kisah cinta segitiga yang begitu menggebu-gebu.

Menyebut Challengers sebagai film tentang cinta segitiga sebenarnya adalah penyederhanaan yang keliru. Film ini adalah tentang obsesi. Film ini dimainkan oleh orang-orang yang mempunyai ambisi lebih daripada menang. Challengers adalah tentang orang-orang yang mencari bara api lagi dalam hidupnya. Justin Kuritzkes, penulis skrip film ini, mendesain film ini seperti sebuah kompetisi yang menegangkan. Tapi bukan kemenangan yang menjadi target utamanya melainkan bagaimana rasa cemburu bisa menjadi bahan bakar yang ampuh untuk menjadi nomor satu.

Menggunakan cara bercerita yang tidak linear, Challengers dengan mantap membuat saya bertanya-tanya motivasi tiap karakternya setiap menitnya. Keputusan Kuritzkes untuk menyimpan informasi dan mengeluarkannya di saat yang tepat membuat tarik-ulur ini menjadi sangat menarik. Tidak ada satu pun karakter Challengers yang suci, semuanya hitam penuh noda. Tapi ajaibnya, tidak pernah satu menit pun saya membenci mereka. Kuritzkes memberikan dimensi yang utuh sehingga setiap gerakan karakternya penonton bisa mengerti sepenuhnya.

Pemilihan Luca Guadagnino sebagai sutradara adalah keputusan brilian karena ia adalah salah sedikit sutradara yang tahu bagaimana cara menunjukkan intimasi yang tepat, kamu bisa merasakan layar bergetar karenanya. Sebagai orang yang bertanggung jawab atas Call Me By Your Name, Guadagnino melukis Challengers dengan sexual tension yang pekat. Tidak ada adegan seks dalam film ini tapi kamu bisa melihat bahwa Guadagnino menggunakan lapangan tenis sebagai ranjangnya. Penonton hanya melihat karakter-karakternya hampir berhubungan seks atau setelah mereka berhubungan. Tapi begitu kamu sampai di adegan lapangan, kamu akan melihat bagaimana Guadagnino melukis karakter-karakternya. Matahari yang terang membuat kulit karakternya bersinar. Dan dalam slow-motion, keringat-keringat yang berjatuhan itu terlihat sungguh sinematik.

Dibutuhkan aktor-aktor kelas satu untuk bisa menyampaikan gairah. Mike Faist dan Josh O'Connor tidak hanya memiliki kemampuan yang baik untuk menjadi mainan Zendaya, mereka bertiga memiliki chemistry yang sungguh luar biasa. Kalau Mike Faist bisa membuat kalang kabut dengan seringainya, Josh O'Connor bisa membuat kamu jatuh cinta dengan gaya slengeannya yang effortless. Sementara itu Zendaya membuktikan bahwa dia salah satu aktris muda yang paling berbakat melalui perannya disini. Dia sanggup menampilkan kepolosan remaja sekaligus sosok veteran yang tahu apa yang dia mau. Ini adalah peran Zendaya yang paling kompleks sejauh ini, bahkan jika dibandingkan dengan perannya di Euphoria sekalipun.

Sudah lama saya tidak menonton sebuah drama percintaan untuk orang dewasa yang sangat menghibur seperti Challengers. Film ini tidak hanya membuat tenis menjadi seksi tapi juga berhasil membuat kisah cinta paling klasik menjadi sesuatu yang layak untuk dirayakan. Challengers adalah pengalaman yang harus kamu alami di bioskop. Percayalah, begitu Trent Reznor dan Atticus Ross menghiasi speaker bioskop dengan musik techno yang adiktif, kamu akan berharap bisa masuk ke dalam layar untuk merasakan gairahnya.

Challengers dapat disaksikan di seluruh jaringan bioskop di Indonesia

Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.

Genre

Romance
Comedy
Drama
Sport

Runtime 2 hour 11 minute
Release Date
Production Co. Pascal Pictures
Director Luca Guadagnino
Writer Justin Kuritzkes
Cast Zendaya
Mike Faist
Josh O'Connor
Faith Fay
Jordan Thompson
Kembali ke halaman sebelumnya