Kembali ke halaman sebelumnya

'Kebakaran Jenggot' Gegara Berita, Netanyahu Beredel Al Jazeera Israel

cnbcindonesia.com 2 jam yang lalu

Foto: Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghadiri pertemuan dengan Presiden AS Joe Biden (tidak dalam gambar), saat Biden mengunjungi Israel di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas, di Tel Aviv, Israel, 18 Oktober 2023. (REUTERS/EVELYN HOCKSTEIN)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu memutuskan untuk menutup kantor media Al Jazeera di negara itu. Hal ini terjadi saat media itu terus melakukan pembicaraan terkait serangan Israel ke wilayah Gaza

Dalam akun X-nya, Minggu (5/5/2024), Netanyahu menyatakan bahwa keputusan ini telah diputuskan dengan matang oleh pemerintahannya dan juga parlemen.

"Pemerintahan yang saya pimpin dengan suara bulat memutuskan: saluran hasutan Al Jazeera akan ditutup di Israel," tulis akun X resmi Netanyahu.

Secara rinci, Juru bicara PM untuk dunia Arab, Ofir Gendelman, mengatakan bahwa keputusan tersebut akan segera dilaksanakan. Ia menyebut peralatan penyiaran Al Jazeera akan disita, koresponden saluran tersebut akan dilarang bekerja, serta akses ke situs webnya diblokir.

"Wartawan Al Jazeera merugikan keamanan Israel dan menghasut tentara IDF. Ini saatnya untuk mengusir corong Hamas dari negara kita," ujar Ofir, dikutip CNN International.

Langkah ini dilakukan sebulan setelah Netanyahu mengesahkan undang-undang yang memungkinkan pemerintah untuk melarang jaringan asing yang dianggap menimbulkan ancaman terhadap keamanan nasional.

Terkait manuver ini, Al Jazeera menyebut langkah ini sebagai sesuatu yang melanggar hak asasi manusia untuk mengakses informasi. Media yang berbasis di Qatar itu mengatakan penutupan ini tidak akan menghalanginya untuk terus menyiarkan informasi.

Al Jazeera juga membantah tuduhan Tel Aviv yang menuding media itu melakukan pelanggaran terhadap kerangka profesional yang mengatur pekerjaan media. Mereka meminta aktivis agar terus menyerukan penghentian kekerasan Israel terhadap jurnalis.

"Penindasan Israel terhadap kebebasan pers untuk menutupi kejahatannya dengan membunuh dan menangkap jurnalis tidak menghalangi kami untuk melaksanakan tugas kami. Lebih dari 140 jurnalis Palestina telah menjadi martir demi kebenaran sejak awal perang di Gaza," tulis media itu dalam pernyataan resminya.

Kecaman juga datang dari PBB. Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Stéphane Dujarric pada hari Minggu mengutuk penutupan Al Jazeera yang menurutnya menjadi sebuah keputusan yang membatasi kebebasan pers.

"Pers yang bebas memberikan layanan yang sangat berharga untuk memastikan bahwa masyarakat mendapat informasi dan terlibat," kata Dujarric.

Dari dalam negeri Israel, Asosiasi Pers Asing (FPA), sebuah LSM yang mewakili jurnalis yang bekerja untuk organisasi berita internasional yang melaporkan dari Israel, Tepi Barat dan Gaza, menuduh Israel bergabung dengan klub pemerintah otoriter yang meragukan.

"Ini adalah hari yang kelam bagi media. Ini adalah hari kelam bagi demokrasi," katanya dalam sebuah pernyataan.

Selain FPA, Partai Persatuan Nasional, yang merupakan anggota koalisi penguasa yang berhaluan tengah, mengatakan bahwa perundingan gencatan senjata tampaknya hampir gagal, dan hal ini dapat "menyabotase upaya" untuk membebaskan sandera Israel di Gaza.

Al Jazeera didirikan pada tahun 1996 oleh Pemerintah Qatar dan masih didanai oleh negara itu. Saat ini, Qatar sendiri itu dipercayakan menjadi mediator antara Israel dengan milisi Hamas yang berperang sejak 7 Oktober lalu di wilayah kantong Palestina, Hamas

Israel telah melarang jurnalis asing memasuki Gaza untuk meliput konflik tersebut. Diketahui, konflik itu telah menewaskan lebih dari 34.000 warga Palestina, mendorong sejumlah negara dunia untuk meminta Israel menghentikan perang berdarah itu.

Kembali ke halaman sebelumnya