Kembali ke halaman sebelumnya

Biden Resmi Teken UU Pemblokiran, Bagaimana Nasib TikTok?

cnnindonesia.com 1 jam yang lalu
Jakarta, CNN Indonesia --

Presiden Amerika Serikat Joe Biden resmi meneken Rancangan Undang-undang yang mewajibkan perusahaan induk TikTok, ByteDance, menjual aplikasi tersebut. Ketentuan ini memungkinkan AS memblokir TikTok apabila ByteDance tidak melaksanakan kewajibannya.

RUU ini disetujui oleh DPR pada hari Sabtu, dan oleh Senat pada hari Selasa. Undang-undang ini merupakan ancaman paling serius bagi TikTok sejak para pejabat AS menyuarakan kecemasan mereka terhadap aplikasi ini sejak 2020.

Melansir CNN, regulasi baru yang diatur dalam undang-undang tersebut, ByteDance harus menjual TikTok dalam kurun waktu sembilan ke depan. Jika tidak menjalankan ketentuan itu, TikTok akan dilarang sepenuhnya dari Amerika Serikat.

Hal ini secara efektif akan membatasi pengunduhan baru aplikasi dan interaksi dengan kontennya.

Aturan tersebut memberi batas waktu penjualan pada 19 Januari 2025. Namun, Biden dapat memperpanjang tenggat waktu 90 hari jika dia menentukan bahwa perusahaan telah membuat kemajuan menuju penjualan, sehingga TikTok memiliki waktu hingga satu tahun sebelum menghadapi pelarangan.

TikTok menyatakan bakal mengambil tindakan hukum untuk melawan regulasi ini. Dalam sebuah video yang diunggah perusahaan, CEO TikTok Shou Chew menegaskan kepada para pengguna mereka tidak akan kemana-mana.

"Kami yakin dan kami akan terus memperjuangkan hak-hak Anda di pengadilan. Fakta dan konstitusi ada di pihak kami kami berharap untuk menang," kata Shou.

Dalam sebuah pernyataan, juru bicara TikTok menyebut undang-undang tersebut "tidak konstitusional" dan mengatakan bahwa hal itu "akan menghancurkan" 170 juta pengguna platform di Amerika Serikat dan 7 juta bisnis yang beroperasi di aplikasi tersebut.

Sebelumnya, TikTok juga berjanji membawa pemerintah AS ke pengadilan jika Biden menandatangani RUU tersebut. Dalam sebuah memo pada hari Sabtu, seorang petinggi TikTok menulis kepada karyawannya bahwa ini akan menjadi "awal, bukan akhir" dari proses panjang untuk menentang aturan tersebut.

Pemerintah China sebelumnya mengatakan mereka sangat menentang penjualan TikTok, dan telah merevisi aturan kontrol ekspornya untuk memberikan kekuatan memblokir penjualan dengan alasan keamanan nasional. Hal ini menyisakan sedikit pilihan bagi ByteDance untuk mengamankan masa depan TikTok di AS, pasar terbesarnya dengan 170 juta pengguna.

"Penjualan paksa TikTok di AS sama saja dengan penurunan kualitas aplikasi, karena pemerintah Cina tidak akan menyetujui penjualan algoritmanya," kata Alex Capri, seorang peneliti di Hinrich Foundation dan dosen di Sekolah Bisnis Universitas Nasional Singapura, mengutip CNN.

"Jika TikTok dipaksa untuk berhenti beroperasi di AS, prospek ByteDance di negara-negara demokrasi liberal lainnya akan berada di bawah pengawasan lebih lanjut," lanjut dia.

Jika pemerintah China tidak mengizinkan ByteDance untuk melepaskan algoritma TikTok, maka pemerintah China dapat memblokir penjualan secara langsung.

Di sisi lain, mereka dapat mengizinkan TikTok dijual tanpa algoritma yang menguntungkan yang menjadi dasar popularitasnya.

Capri mengatakan larangan di AS akan menjadi rejeki nomplok untuk YouTube, Google, Instagram, dan pesaing TikTok lainnya. Pasalnya, ia memprediksi banyak pengguna TikTok yang mungkin akan berpindah ke platform lain dan ini akan menjadi pukulan besar bagi ambisi global ByteDance.

"Ini [pelarangan TikTok] akan menjadi akhir dari ekspansi global ByteDance, karena ini akan menjadi tanda bahwa negara Tiongkok lebih menghargai keamanan algoritma daripada kemakmuran finansial dan ekspansi global ByteDance," ujar Richard Windsor, analis industri teknologi dan pendiri Radio Free Mobile, sebuah perusahaan riset yang berbasis di Amerika Serikat.

"Implikasinya, perjuangan ideologis yang sedang terjadi di industri teknologi akan menjadi lebih intens," lanjut dia.

Kembali ke halaman sebelumnya