Kembali ke halaman sebelumnya

Jumlah Orang Asli Papua semakin berkurang, bahkan di PBD sudah minoritas

jubi.id 5 jam yang lalu

Jayapura, Jubi – Dosen (Lektor Kepala) Universitas Negeri Papua Dr Ir Agus Sumule mengatakan jumlah Orang Asli Papua atau OAP semakin berkurang dan di Provinsi Papua Barat Daya jumlah OAP sudah minoritas.

“Bahkan hal ini terjadi sebelum pemekaran, juga bisa dilihat dari proses pemilihan umum, di Manokwari orang pendatang lebih dominan,” kata Sumule pada workshop ‘Potret Demografi Papua: Mencari Solusi Masa Depan di Tengah Ancaman Depopulasi’ yang diadakan Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia atau ELSHAM Papua di Gedung Shopie P3W, Jl Sosial No. 01 Padang Bulan, Jayapura, Selasa (30/4/2024).

Agus Sumule didaulat sebagai satu dari empat pembicara. Ia membahas materi berjudul “Tantangan dan Perubahan Kehidupan Sosial Orang Asli Papua di Tengah Masifnya Dominasi Kebijakan Pemerintah Pusat di Tanah Papua.”

Tiga pemateri lain adalah peneliti independen dan anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Dr Riwanto Tirtosudarmo, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Usman Hamid, dan Direktur RSUD Jayapura Dr Drg Aloysius Giyai MKes.

Pada workshop yang dimoderatori dosen Universitas Cenderawasih Yehuda Hamokwarong Spd MSc itu, Dr Riwanto Tirtosudarmo mengatakan Papua menghadapi suatu problem yang sangat dilematis, antara lain karena migrasi yang menurutnya salah satu komponen yang sangat penting.

“Meskipun Papua sebuah pulau yang dipisah oleh laut, tapi setiap dua minggu sekali kapal-kapal putih selalu masuk dan kita lihat orang baru banyak masuk ke Papua,” katanya.

Aktivis HAM Usman Hamid mengatakan masalah depopulasi di Tanah Papua juga dampak dari bisnis, investasi, dan infrastruktur. Ia membagi masalah ke dalam dua fenomena politik dalam melihat politik di Indonesia yang sekarang menjadi perhatian para sarjana. Dua fenomena itu adalah oligarkisasi dan kartelisasi

“Oligarkisasi lebih merujuk pada bagaimana proses pengambilan keputusan negara di Indonesia, itu lebih berbasis pada pengambilan keputusan oleh pemilik kekayaan material yang luar biasa dan dalam jumlah yang sangat sedikit,” katanya.

Sedangkan oligarkisme adalah proses pengambilan keputusan, sistem hubungan kekuasaan yang ditentukan oleh segelintir orang yang memiliki segelintir kekayaan, dan terus mengakumulasi kekayaan materialnya.

“Kekuatan oligarki ini nyaris tidak bisa ditandingi oleh kekuatan gerakan politik berbasis partai, maupun gerakan sipil di Indonesia, karena itu dampaknya sangat besar ke depan,” ujarnya.

Sementara kartelisasi lebih menggambarkan bagaimana kontrol-kontrol politik dari parlemen dan partai-partai politik justru malah berlarut di dalam proses oligarkisasi.

“Partai yang ada di Indonesia saat ini tidak berbasis pada perbedaan ideologinya, tidak memiliki pendanaan mandiri, sehingga mengakibatkan mereka tergantung pada pendanaan-pendanaan material dari kelompok-kelompok oligarki. Dua fenomena politik ini saya kira sangat terlihat di dalam situasi Papua saat ini,” ujarnya

Dua fenomena tersebut menurut Usman yang melemahkan demografi di Indonesia, termasuk Hak Asasi Manusia. “Contohnya kebebasan hak-hak sipil dan politik yang terus menurun dan Papua itu menjadi catatan betapa kebebasan sipil di Indonesia terus menurun,” katanya.

Dr Alosius Giyai membahas materi ‘Mengurai Problematika Tata Kelola Pelayanan Kesehatan, Implementasinya bagi Orang Asli di Tanah Papua’.

Mantan kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua itu memberikan beberapa saran dan bukti kerja nyata di lapangan yang dilakukannya. Ia juga menekankan agar pejabat Papua harus bisa berpikir kreatif untuk mengelola Dana Otsus dan terjangkau ke seluruh pelosok Papua.

OAP harus sadar

Pada sesi tanya jawab, salah seorang peserta diskusi, Pdt Jemima J Mirino Krey STh mengatakan hal yang perlu diperhatikan untuk memperbaiki serangkaian kekacauan adalah Orang Asli Papua harus sadar dan memikirkan bagaimana membangun kesadaran itu. “Kita bisa mulai dari perempuan, lalu pemuda, dan anak-anak,” ujarnya.

Menurut Pdt Jemima orang Papua mengalami banyak ancaman, bahkan MRP (Majelis Rakyat Papua) dan orang-orang pintar juga mengalami hal yang sama.

“Itu ada ancaman, mereka mati karena memperjuangan hak orang Papua. Mulai dari akar rumput sampai pejabat harus tahu bahwa sedang terjadi depopulasi Orang Papua. Mau jadi gubernur atau ditunjuk oleh pemerintah pusat, kita harus menyadari hal itu,” katanya.

Peserta diskusi lain, Pdt Barnabas Weyai STh berpendapat masalah ancaman depopulasi di Tanah Papua tidak terlepas dari sejarah kelam Papua.

“Semua permasalahan di Papua itu sangat dipengaruhi oleh politik aneksasi dan itu berpotensi sebagai pelanggaran HAM,” ujarnya.

Selain luring, diskusi juga berlangsung daring melalui Zoom Meeting. Salah satu peserta daring, Jakson Klasibin memberikan pendapatnya dari sisi generasi muda Papua. Ia menyarankan pemerintah di Papua melakukan pendataan populasi suku-suku di Papua agar pengelolaan Dana Otsus bisa diakomodir lebih baik atau tepat sasaran.

“Harus ada pembatasan terhadap migrasi spontan, saya pikir migrasi spontan ini berbeda dengan transmigrasi, mungkin saat ini sudah tidak diberlakukan lagi di Papua, karena turunan Otsus itu sendiri,” kata Klasibin.

Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia atau ELSHAM Papua Pdt Matheus Adadikam saat membuka acara mengatakan bahwa Orang Asli Papua (OAP) harus bangun dari tidur yang panjang. (*)

Kembali ke halaman sebelumnya